Minggu, 12 Maret 2017

Penyedia Jasa Pelayanan Public Bermasalah Konsumen Korbannya



 PENYEDIA JASA PELAYANAN PUBLIC BERMASALAH KONSUMEN KORBANNYA




Disusun Oleh :
Hendra Eka Suparman

Putusan pailit perusahaan penyedia jasa pelayanan publik seperti maskapai penerbangan Batavia Air, tak pelak menyisakan Sedih bagi konsumen. Karena, kerap banyak perusahaan langsung lepas tangan akan nasib konsumen dengan berlindung pada status pailit.
“Sedangkan konsumen dapat sampah kalau aset habis,” ucap Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Sudaryatmo di kantornya, Jumat (1/2).
Posisi konsumen tidak menguntungkan ketimbang kreditor lain. Karena konsumen ditempatkan sebagai kreditor konkuren.  Akibatnya, konsumen selalu gigit jari ketika pembagian aset perusahaan.
Kondisi terkini akan posisi konsumen itu nyata dialami sejumlah calon penumpang armada penerbangan perjadwal, Batavia Air. Seluruh kantor perwakilan Batavia Air dan loket di bandar udara, diserbu calon penumpang yang sudah memesan tiket (booking-red) penerbangan salah satu armada penerbangan murah itu.
Pascaputusan pailit, konsumen dibingungkan dengan mekanisme pengembalian tiket. Alih-alih mendapatkan jaminan pengembalian uang pembelian tiket, konsumen malah tidak disuguhkan informasi yang cukup dari Batavia Air. Lagi-lagi, tindakan ini merugikan konsumen.
Tak hanya merugikan dana konsumen. Putusan, pailit ini juga menurunkan tingkat kepercayaan konsumen terhadap industri penerbangan. Konsumen akan merasa was-was untuk memesan tiket dalam rentang waktu lama. Soalnya, konsumen akan ketakutan maskapai penerbangan tersebut dipailitkan sebelum pelanggan mendapatkan pemenuhan prestasi dari maskapai tersebut.
Kekhawatiran Sudaryatmo bukan tanpa alasan. Ia melihat pada kasus Mandala Airlines yang dipailitkan pada Januari 2011 lalu. Kala itu, manajemen Mandala Airlines berjanji akan mengembalikan uang pembelian tiket konsumen. Namun, hingga kini, kabar pengembalian tiket belum terdengar.
Melihat hal tersebut, Sudaryatmo mendesak untuk melakukan reformasi UU No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Menurutnya, perlu ada pendekatan berbeda dalam menangani perkara kepailitan terhadap perusahaan yang bergerak di bidang pelayanan publik, seperti di industri penerbangan.
Pendekatan ini dapat mencontoh sektor keuangan. Pemailitan atas perusahaan yang bergerak di sektor keuangan harus mendapat persetujuan terlebih dahulu dari otoritas keuangan, yaitu Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia. Demikian pula halnya dengan industri penerbangan. Persetujuan Kementerian Perhubungan perlu dikantongi sebelum pailit dimohonkan.
Selain meminta reformasi UU Kepailitan, Sudaryatmo juga mengkritik agar Kementerian Perhubungan menerapkan klasifikasi kesehatan perusahaan penerbangan. YLKI melihat perlu ada kategori kesehatan perusahaan sehingga dapat dilakukan pengawasan khusus dan penyehatan perusahaan sebelum ditutup atau berhenti operasi.
“Sudah waktunya prinsip yang sama dalam sektor keuangan diterapkan di sektor perhubungan,” tandasnya.
Menanggapi pernyataan Sudaryatmo terkait perlunya pendekatan khusus untuk mempailitkan perusahaan yang bersinggungan dengan publik, Ketua Asosiasi Kurator dan Pengurus Indonesia, Ricardo Simanjutak enggan berkomentar terkait perlindungan konsumen.
“Saya ga bisa jawab itu,” ucapnya ketika dihubungi hukumonline, Jumat (1/2).
Namun, Ricardo menyatakan bahwa kurator adalah para profesional. Kurator tidak semata-mata melakukan penjualan begitu saja. Kurator tetap memperhatikan hak-hak debitur yang masih ada, seperti hak melakukan upaya kasasi dan perdamaian.
Lebih lagi, kurator tidak akan berpihak pada debitur, tetapi berpihak pada kepentingan budel pailit. Untuk itu, budel pailit harus tetap berada pada posisi yang semaksimal mungkin. Kurator harus mampu memaksimalkan nilai aset sehingga dapat membayar seluruh kreditor.
“Kurator itu profesional. Kurator harus berupaya memaksimalkan nilai aset,” tutupnya.
Berdasarkan penelusuran hukumonlline, lebih dari tiga perusahaan yang bersinggungan dengan konsumen dipailitkan. Untuk diketahui, maskapai penerbangan Adam Air tidak lagi mengudara sejak 2008 silam. Selain Adam Air dan Mandala Airlines, Bouraq Airlines Indonesia juga dinyatakan pailit pada 2004 silam.
Bouraq dipailitkan karena gagal memenuhi kewajibannya kepada karyawannya dan perusahaan percetakan rekanannya. Adapun utang Bouraq adalah senilai Rp1,04 miliar.
Selain industri penerbangan, perusahaan telekomunikasi terbesar di Indonesia, PT Telekomunikasi Selular Tbk (Telkomsel) juga pernah menyandang status pailit. Telkomsel saat itu dimohonkan pailit oleh mitra bisnisnya sendiri, Prima Jaya Informatika (PJI) karena utangnya senilai Rp5,3 miliar. Namun, status ini lepas dari Telkomsel pada tingkat kasasi.

Sumber  :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar