PENYEDIA JASA
PELAYANAN PUBLIC BERMASALAH KONSUMEN KORBANNYA
Disusun Oleh :
Hendra Eka Suparman
Putusan
pailit perusahaan penyedia jasa pelayanan publik seperti maskapai penerbangan
Batavia Air, tak pelak menyisakan Sedih bagi konsumen. Karena, kerap
banyak perusahaan langsung lepas tangan akan nasib konsumen dengan berlindung
pada status pailit.
“Sedangkan
konsumen dapat sampah kalau aset habis,” ucap Ketua Pengurus Harian Yayasan
Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Sudaryatmo di kantornya, Jumat (1/2).
Posisi
konsumen tidak menguntungkan ketimbang kreditor lain. Karena konsumen
ditempatkan sebagai kreditor konkuren. Akibatnya, konsumen selalu gigit
jari ketika pembagian aset perusahaan.
Kondisi
terkini akan posisi konsumen itu nyata dialami sejumlah calon penumpang armada
penerbangan perjadwal, Batavia Air. Seluruh kantor perwakilan Batavia Air dan
loket di bandar udara, diserbu calon penumpang yang sudah memesan tiket
(booking-red) penerbangan salah satu armada penerbangan murah itu.
Pascaputusan
pailit, konsumen dibingungkan dengan mekanisme pengembalian tiket. Alih-alih
mendapatkan jaminan pengembalian uang pembelian tiket, konsumen malah tidak
disuguhkan informasi yang cukup dari Batavia Air. Lagi-lagi, tindakan ini
merugikan konsumen.
Tak hanya
merugikan dana konsumen. Putusan, pailit ini juga menurunkan tingkat
kepercayaan konsumen terhadap industri penerbangan. Konsumen akan merasa
was-was untuk memesan tiket dalam rentang waktu lama. Soalnya, konsumen akan
ketakutan maskapai penerbangan tersebut dipailitkan sebelum pelanggan
mendapatkan pemenuhan prestasi dari maskapai tersebut.
Kekhawatiran
Sudaryatmo bukan tanpa alasan. Ia melihat pada kasus Mandala Airlines yang
dipailitkan pada Januari 2011 lalu. Kala itu, manajemen Mandala Airlines
berjanji akan mengembalikan uang pembelian tiket konsumen. Namun, hingga kini,
kabar pengembalian tiket belum terdengar.
Melihat
hal tersebut, Sudaryatmo mendesak untuk melakukan reformasi UU No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Menurutnya, perlu ada pendekatan berbeda
dalam menangani perkara kepailitan terhadap perusahaan yang bergerak di bidang
pelayanan publik, seperti di industri penerbangan.
Pendekatan
ini dapat mencontoh sektor keuangan. Pemailitan atas perusahaan yang bergerak
di sektor keuangan harus mendapat persetujuan terlebih dahulu dari otoritas
keuangan, yaitu Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia. Demikian pula halnya
dengan industri penerbangan. Persetujuan Kementerian Perhubungan perlu
dikantongi sebelum pailit dimohonkan.
Selain
meminta reformasi UU Kepailitan, Sudaryatmo juga mengkritik agar Kementerian
Perhubungan menerapkan klasifikasi kesehatan perusahaan penerbangan. YLKI
melihat perlu ada kategori kesehatan perusahaan sehingga dapat dilakukan
pengawasan khusus dan penyehatan perusahaan sebelum ditutup atau berhenti
operasi.
“Sudah
waktunya prinsip yang sama dalam sektor keuangan diterapkan di sektor
perhubungan,” tandasnya.
Menanggapi
pernyataan Sudaryatmo terkait perlunya pendekatan khusus untuk mempailitkan
perusahaan yang bersinggungan dengan publik, Ketua Asosiasi Kurator dan
Pengurus Indonesia, Ricardo Simanjutak enggan berkomentar terkait perlindungan
konsumen.
“Saya ga
bisa jawab itu,” ucapnya ketika dihubungi hukumonline, Jumat (1/2).
Namun,
Ricardo menyatakan bahwa kurator adalah para profesional. Kurator tidak
semata-mata melakukan penjualan begitu saja. Kurator tetap memperhatikan
hak-hak debitur yang masih ada, seperti hak melakukan upaya kasasi dan
perdamaian.
Lebih
lagi, kurator tidak akan berpihak pada debitur, tetapi berpihak pada
kepentingan budel pailit. Untuk itu, budel pailit harus tetap berada pada
posisi yang semaksimal mungkin. Kurator harus mampu memaksimalkan nilai aset
sehingga dapat membayar seluruh kreditor.
“Kurator
itu profesional. Kurator harus berupaya memaksimalkan nilai aset,” tutupnya.
Berdasarkan
penelusuran hukumonlline, lebih dari tiga perusahaan yang bersinggungan
dengan konsumen dipailitkan. Untuk diketahui, maskapai penerbangan Adam Air
tidak lagi mengudara sejak 2008 silam. Selain Adam Air dan Mandala Airlines,
Bouraq Airlines Indonesia juga dinyatakan pailit pada 2004 silam.
Bouraq
dipailitkan karena gagal memenuhi kewajibannya kepada karyawannya dan
perusahaan percetakan rekanannya. Adapun utang Bouraq adalah senilai Rp1,04
miliar.
Selain
industri penerbangan, perusahaan telekomunikasi terbesar di Indonesia, PT
Telekomunikasi Selular Tbk (Telkomsel) juga pernah menyandang status pailit.
Telkomsel saat itu dimohonkan pailit oleh mitra bisnisnya sendiri, Prima Jaya
Informatika (PJI) karena utangnya senilai Rp5,3 miliar. Namun, status ini lepas
dari Telkomsel pada tingkat kasasi.
Sumber :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar